Kumpulan Cerita - Cerita Islami
Tags: cerita motivasi (1200), cerita islami (261), cerita hikmah (104), cerita nasehat (313), cerita teladan (334), kumpulan cerita motivasi (203), kisah islami(247), kisah teladan (331), kisah hikmah (110), kumpulan kisah teladan (263), artikel motivasi (2011), artikel islam (105), artikel kesehatan (211), kumpulan artikel motivasi (300), berita islami (2012), motivasi islam (2010),artikel kesehatan (500)
Kelahiran
dan pertumbuhannya:
Salman
Al-Farisi r.a. lahir di suatu desa bernama Jiyan di wilayah kota Aspahan -
Iran, yaitu antara kota Teheran dengan Syiraz. Setelah Salman r.a. mendengar
kebangkitan Rasulullah saw. dia langsung berangkat meninggalkan Persia mencari
Nabi saw. untuk menyatakan keislamannya.
Dalam suatu
kisah, Salman menceritakan otobiografinya sbb. 'Saya adalah anak muda Persia
yang berasal dari suatu desa di kota Aspahan yang bernama Jiyan.
Ayah saya
adalah kepala desa dan orang terkaya serta terhormat di desa itu. Dari sejak
lahir, saya adalah orang yang paling disayanginya, kasih sayangnya kepada saya
semakin hari semakin kental, sehingga saya di kurung di rumah bagaikan gadis
pingitan.
Saya
termasuk orang yang takwa dalam agama majusi, sehingga saya merasakan nilai api
yang kami sembah itu dan saya diberi tanggungjawab menyalakannya, jangan sampai
padam sepanjang hari dan sepanjang malam.
Ayah saya
mempunyai ladang yang luas yang memberi kami penghidupan yang cukup. Ayah saya
selalu mengurusi dan memanennya sendiri.
Di suatu
hari, dia tidak bisa pergi ke ladang, lalu dia mengatakan kepada saya, 'Anakku!
Ayah sibuk dan tidak bisa pergi ke ladang hari ini, sebab itu pergilah urusi
ladang tersebut menggantikan Ayah.' Lalu saya berangkat menuju ladang kami.
Di tengah
perjalanan, saya melewati sebuah gereja Kristen dan mendengar suara mereka yang
sedang beribadah di dalam. Hal itu menarik perhatian saya karena saya tidak
pernah tahu sedikitpun tentang agama Kristen dan agama lainnya, karena
sepanjang usia saya selalu dipingit di dalam rumah oleh orang tua saya. Setelah
mendengar suara itu, saya masuk ingin mengetahui secara dekat apa yang sedang
mereka lakukan.
Setelah saya
memperhatiakan apa yang mereka kerjakan, saya merasa tertarik dengan cara
mereka beribadah, malah saya tertarik dengan agama mereka. Saya mengatakan
dalam hati saya, 'Sungguh agama mereka ini lebih baik dari agama kami.'
Saya tidak
keluar dari gereja tersebut sampai matahari terbenam sehingga saya tidak jadi
pergi ke ladang kami. Saya menayakan kepada mereka, 'Dari mana asal agama ini?'
Mereka menjawab, 'Dari daerah Syam.'
Setelah
malam menjelang, saya pulang ke rumah. Ayah saya langsung menanyakan kepada
saya apa yang telah saya lakukan. Saya menjawab, 'Hai Ayahku! Saya melewati
sekelompok orang yang sedang beribadah di dalam gereja, lalu saya tertarik
dengan cara mereka beribadah. Saya berada bersama mereka sampai matahari
terbenam.' Ayah saya langsung marah mendengar tindakan saya dan dia mengatakan,
'Hai anakku!
Agama mereka itu tidak baik, agamamu dan agama nenek moyangmu lebih baik dari
agama itu.'
Saya
menjawab, 'Tidak ayah! Agama mereka lebih baik dari agama kita.' Dari perkataan
saya itu, syah saya takut kalau-kalau saya akan murtad, lalu dia mengurung saya
di rumah dengan mengekang kaki saya.'
Berangkat ke negeri Syam:
Ketika saya
mendapat kesempatan, saya mengirim pesan kepada kaum Kristen itu. Saya
mengatakan,'Bila ada rombongan yang akan berangkat ke negeri Syam, tolong saya
diberi tahu.' Ternyata tidak berapa lama ada satu rombongan yang akan berangkat
ke negeri Syam.
Mereka pun
langsung memberitahukannya kepada saya. Saya berusaha membuka kekang kaki saya
dan saya berhasil membukanya. Saya berangkat bersama mereka secara sembunyi dan
akhirnya kami sampai di negeri Syam. Setibanya di negeri Syam, saya mengatakan,
'Siapa orang nomor satu dalam agama ini?' Mereka menjawab, 'Uskup pengasuh
gereja.'
Saya
mendatanginya dan mengatakan kepadanya, 'Saya tertarik dengan agama Kristen ini
dan saya ingin mengikuti dan membantumu sekaligus belajar dari kamu dan
beribadah bersama kamu.' Dia menjawab, 'Silakan masuk!' Saya pun masuk dan
menjadi pembantunya.
Belum
berlangsung lama, saya menilai bahwa orang tersebut adalah orang jahat, dia
menyuruh pengikutnya untuk berderma dan mengiming-imingi mereka dengan pahala
yang sangat besar. Setelah mereka memberikannya dengan niat fi sabilillah,
ternyata dia monopoli untuk dirinya sendiri, tidak diberikan kepada fakir
miskin sedikitpun. Dia berhasil mengumpulkan sebanyak tujuh karung emas. Melihat
keadaan itu, saya menaruh kebencian yang luar biasa terhadapnya.
Ketika dia
meninggal, kaum Kristen berkumpul untuk menguburkannya, ketika itu saya
mengatakan kepada mereka, 'Sesungguhnya teman kamu ini adalah orang jahat, dia
menyuruh kamu bersedekah dan mengiming-imingkan pahala besar, setelah kalian
kumpulkan, dia monopoli untuk dirinya sendiri, dia tidak berikan sedikitpun
kepada fakir miskin.' Mereka menjawab, 'Dari mana kamu tahu?' Saya menjawab,
'Mari saya tunjukkan kepada kamu sekarang juga tempat penyimpanan harta itu'
Mereka mengatakan, 'Ayo tunjukkan kepada kami tempatnya.'
Saya pun
menunjukkannya dan mereka menemukan tujuh karung emas dan perak. Setelah mereka
melihat secara langsung, mereka mengatakan, 'Demi Allah kita tidak akan
menguburkannya, kita harus menyalib dan melemparinya dengan batu.'
Tidak lama
kemudian mereka mengangkat orang lain sebagai penggantinya, lalu saya
mengikutinya. Sungguh saya belum pernah mendapatkan orang yang paling zuhud dan
mengharap akhirat melebihi orang itu. Ibadahnya yang berlangsung siang malam
membuat saya mnyenanginya, lalu saya hidup bersama dia beberapa tahun. Ketika
menjelang wafatnya, saya mengatakan kepadanya, 'Ya Polan! Kepada siapa engkau pesankan saya dan dengan
siapa saya akan hidup sepeninggal kamu?'
Dia
menjawab, 'Ya anakku! Terus terang saya tidak melihat ada orang yang tingkat
keagamaannya seperti kita, kecuali satu orang di kota Musol yang bernama Polan.
Dia tidak merubah-rubah dan mengganti-ganti ayat Allah. Oleh sebab itu carilah
orang itu.'
Sepeninggal
teman saya itu, saya pergi menyusul orang tersebut ke kota Musol. Setibanya di
rumah beliau saya menceritakan kisah saya dan mengatakan kepadanya, 'Ketika si
Polan hendak meninggal dunia dia memesankan kepada saya untuk menyusul kamu,
dia memberitahukan kepada saya bahwa kamu berpegang kuat dengan kebenaran. Dia
mengatakan kepada saya, kalau begitu, tinggallah bersama saya. Saya pun tinggal
bersama beliau, dan memang betul dia adalah orang baik.
Tidak lama
kemudian, diapun menemui ajalnya. Ketika hendak meninggal saya bertanya
kepadanya, 'Ya Polan! Janji Tuhan sudah dekat kepada Anda, Anda tahu kondisi
saya sebenarnya, oleh sebab itu kepada siapa Anda memesankan saya dan siapa
yang harus saya ikuti?'
Dia
menjawab, 'Hai anakku! Terus terang saya tidak melihat ada orang yang tingkat
keagamaannya seperti kita kecuali seorang di Nasibin yang bernama Polan,
susullah dia ke sana' Setelah orang itu bersemayam di liang lahad, saya
berangkat ke Nasibin mencari orang yang disebutkan itu. Saya menceritakan
kepadanya kisah saya dan pesan teman saya sebelumnya. Dia mengatakan, 'Tinggallah
bersama saya.'
Saya pun
tinggal bersama dia dan ternyata memang dia adalah orang baik seperti dua orang
teman saya sebelumnya. Akan tetapi tidak lama kemudian dia pun menemui ajalnya.
Ketika menjelang maut, saya bertanya kepadanya, 'Engkau telah mengetahui
kondisi saya sebenarnya. Oleh sebab itu kepada siapa engkau memesankan saya?'
Dia
menjawab, 'Ya anakku! Terus terang saya tidak menemukan ada orang yang tingkat
keagamaannya seperti kita kecuali seorang di kota Amuriah yang bernama Polan,
carilah orang itu.' Saya pun mencarinya dan saya menceritakan kisah saya
kepadanya. Dia menjawab, 'Tinggallah bersama saya.' Saya pun tinggal bersama
dia. Ternyata memang dia orang baik seperti yang dikatakan orang sebelumnya.
Selama saya tinggal bersama dia saya berhasil mendapatkan beberapa ekor sapi
dan harta kekayaan lainnya.
Pendeta Kristen memesan Salman mengikuti
Nabi:
Kemudian
orang tersebut pun menemui ajalnya seperti yang sebelumnya. Ketika menjelang
kematiannya, saya mengatakan kepadanya, 'Anda mengetahui kondisi saya
sebenarnya, oleh sebab itu kepada siapa engkau akan pesankan saya atau apa
pesan Anda untuk saya lakukan?'
Dia
menjawab, 'Hai anakku! Terus terang saya tidak menemukan seorang-pun di muka
bumi ini yang masih berpegang dengan agama kita, namun waktunya sudah tiba,
seorang nabi yang akan membawa agama Nabi Ibrahim akan muncul di tanah Arab,
dia akan hijrah dari tanah tumpah darahnya ke daerah yang penuh dengan pohon
kurma di antara dua gunung, dia mempunyai tanda kenabian yang sangat jelas, dia
mau memakan hadiah tapi tidak mau memakan sedekah, di antara bahunya terdapat
cap kenabian. Jika Anda bisa menyusul ke negeri itu, silakan.' Tidak lama
kemudian dia pun meninggal dunia, saya pun tinggal di kota Amuriah untuk
beberapa waktu.
Datang ke jazirah Arabia:
Ketika
rombongan pedagang dari Suku Kalb -Arab- lintas di Amuriah, saya berkata kepada
mereka, 'Jika kalian sanggup membawa saya ke tanah Arab, saya berikan kepada
kalian sapi dan harta kekayaan saya ini.' Mereka menjawab, 'Ya, kami sanggup membawa
kamu.' Saya pun memberikan sapidan kekayaan saya tersebut kepada mereka dan
mereka pun membawa saya.
Ketika saya
sampai di Wadil qura, mereka menipu saya dan menjual saya kepada kepada seorang
yahudi dan memperlakukan saya sebagai hambanya. Suatu ketika, saudaranya dari
suku Quraizah datang menemuinya, lalu dia membeli dan membawa saya pergi ke
Yasrib (Madinah). Di sana saya melihat pohon kurma yang disebut oleh teman saya
yang di Amuria, dari diskripsi yang disampaikan teman saya itu, saya tahu persis
bahwa inilah kota yang dimaksudkan itu. Saya pun tinggal brsama tuan saya di
kota itu.
Ketika itu
Nabi saw. sudah mulai mengajak kaumnya di Mekah untuk masuk Islam, namun saya
tidak mendengar apa-apa dari kegiatan Nabi itu karena kesibukan saya sehari-hari
sebagai budak.
Memeluk Islam:
Tidak berapa
lama, Rasulullah saw. pun hijrah ke Yasrib. Demi Allah ketika saya berada di
atas sebatang pohon kurma milik tuan saya, sedang memberesi kurma itu,
sedangkan tuan saya duduk dibawah, seorang saudaranya datang dan mengatakan
kepadanya, 'Celaka besar atas bani Qilah, mereka sekarang sedang berkumpul di
Kuba, menunggu seorang yang mengklaim dirinya sebagai seorang nabi akan datang
hari ini.'
Setelah saya
mendengar pembicaraan mereka itu, saya langsung merinding kayak demam, saya
gemetar, sehingga saya khawatir akan jatuh ke tuan saya. Saya segera turun dari
pohon kurma tersebut lalu mengatakan kepada tamu itu, 'Apa tadi yang Anda
katakan? Tolong ulangi katakan kepada saya!' Tuan saya langsung marah dan memukul
saya sekuat-kuatnya lalu mengatakan,
'Urusan apa
kamu dengan berita itu? Kembali teruskan pekerjaanmu!'
Di sore
harinya, saya mengambil sedikit kurma yang telah saya kumpulkan sebelumnya,
lalu saya berangkat ke tempat Nabi tinggal. Ketika itu saya mengatakan kepada
Rasulullah, 'Saya mendengar bahwa Anda adalah orang saleh, datang bersama
teman-teman dari kejauhan memerlukan sesuatu. Di tangan saya ada sedikit
sedekah, nampaknya kamu lebih pantas menerimanya.'
Lalu saya
dekatkan kurma itu kepada mereka. Rasulullah saw. mengatakan kepada para
Sahabat, 'Makanlah' sedangkan dia sendiri tidak memakannya. Saya mengatakan
dalam hati saya, 'Ini dia satu tanda kenabiannya.'
Kemudian
saya kembali ke rumah dan mengambil beberapa buah kurma, ketika Nabi saw.
berangkat dari Quba ke Madinah, saya mendatanginya dan mengatakan kepadanya,
'Tampaknya Anda tidak memakan sedekah, ini ada sedikit hadiah saya bawa sebagai
penghormatan kepada Anda.'
Rasululullah
pun memakannya dan menyuruh sahabat untuk ikut memakannya, lalu mereka makan
bersama-sama.
Dalam hati
saya berkata, 'Ini dia tanda kenabian kedua'
Ketika Nabi
berada di Baqi Gargad, ingin menguburkan seorang sahabat, saya mendatangi
beliau dan melihat beliau sedang duduk memakai dua selendang. Saya mengucapkan
salam kepadanya, kemudian saya berjalan berputar sekeliling beliau untuk
melihat punggungnya, barang kali saja saya dapat melihat cap seperti yang
dikatakan oleh teman saya di Amuriah. Setelah Nabi melihat bahwa saya
memperhatikan punggung beliau, dia mengerti tujuan saya, lalu dia mengangkat
selendangnya, ketika itu saya melihat ada cap, lalu saya yakin bahwa itulah cap
kenabian, lalu saya memeluk dan mencium beliau sambil menangis.
Melihat hal
itu Rasulullah saw. bertanya, 'Apa gerangan yang terjadi pada kamu?' Saya pun
menceritakan kisah saya dan beliau sangat kagum dan beliau menginginkan agar
saya perdengarkan kepada para sabahat, lalu saya memperdengarkannya. Mereka
semua kagum dan gembira yang tiada taranya.
Salman masuk
Islam dan dimerdekakan, seterusnya menjadi seorang sahabat yang sangat mulia.
Dia sempat menjabat gubernur di zaman khulafaur Rasyidun di beberapa negeri.
Mudah-mudahan Allah meridai beliau.
Biografinya:
Dalam satu
riwayat, disebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah meletakkan tangannya di atas
Salman, lalu bersabda, 'Seandainya iman berada nun jauh di planet Tata surya,
pasti akan dicapai oleh orang-orang mereka ini.' sambil beliau menunjuk kepada
Salman r.a.
Sumber: alislam (Abu Saifulhaq)|http://alhikmah.com
(Riwayat : Anas r.a; Abu Dawud; Al Bukhari)
Seiring
dengan berlalunya waktu, para pemeluk agama Islam yang semula sedikit, bukannya
semakin surut jumlahnya. Betapa hebatnya perjuangan yang harus dihadapi untuk
menegakkan syiar agama ini tidak membuatnya musnah. Kebenaran memang tidak
dapat dmusnahkan.
Semakin hari
semakin bertambah banyak saja orang-orang yang menjadi penganutnya. Demikian
pula dengan penduduk dikota Madinah, yang merupakan salah satu pusat penyebaran
agama Islam pada masa-masa awalnya. Sudah sebagian tersebar dari penduduk yang
ada dikota itu sudah menerima Islam sebagai agamanya.
Ketika
orang-orang Islam masih sedikit jumlahnya, tidaklah sulit bagi mereka untuk
bisa berkumpul bersama-sama untuk menunaikan sholat berjama` ah. Kini, hal itu
tidak mudah lagi mengingat setiap penduduk tentu mempunyai ragam kesibukan yang
tidak sama. Kesibukan yang tinggi pada setiap orang tentu mempunyai potensi
terhadap kealpaan ataupun kelalaian pada masing-masing orang untuk menunaikan
sholat pada waktunya.
Dan
tentunya, kalau hal ini dapat terjadi dan kemudian terus-menerus berulang, maka
bisa dipikirkan bagaimana jadinya para pemeluk Islam. Ini adalah satu persoalan
yang cukup berat yang perlu segera dicarikan jalan keluarnya.
Pada masa
itu, memang belum ada cara yang tepat untuk memanggil orang sholat. Orang-orang
biasanya berkumpul dimasjid masing -masing menurut waktu dan kesempatan yang
dimilikinya. Bila sudah banyak terkumpul orang, barulah sholat jama `ah
dimulai.
Atas
timbulnya dinamika pemikiran diatas, maka timbul kebutuhan untuk mencari suatu
cara yang dapat digunakan sebagai sarana untuk mengingatkan dan memanggil
orang-orang untuk sholat tepat pada waktunya tiba.
Ada banyak
pemikiran yang diusulkan. Ada sahabat yang menyarankan bahwa manakala waktu
sholat tiba, maka segera dinyalakan api pada tempat yang tinggi dimana
orang-orang bisa dengan mudah melihat ketempat itu, atau setidak-tidaknya
asapnya bisa dilihat orang walaupun ia berada ditempat yang jauh. Ada yang
menyarankan untuk membunyikan lonceng. Ada juga yang mengusulkan untuk meniup
tanduk kambing. Pendeknya ada banyak saran yang timbul.
Saran-saran
diatas memang cukup representatif. Tapi banyak sahabat juga yang kurang setuju
bahkan ada yang terang-terangan menolaknya. Alasannya sederhana saja : itu
adalah cara-cara lama yang biasanya telah dipraktekkan oleh kaum Yahudi.
Rupanya banyak sahabat yang mengkhawatirkan image yang bisa timbul bila
cara-cara dari kaum kafir digunakan. Maka disepakatilah untuk mencari cara-cara
lain.
Lantas, ada
usul dari Umar r.a jikalau ditunjuk seseorang yang bertindak sebagai pemanggil
kaum Muslim untuk sholat pada setiap masuknya waktu sholat. Saran ini agaknya
bisa diterima oleh semua orang, Rasulullah SAW juga menyetujuinya. Sekarang
yang menjadi persoalan bagaimana itu bisa dilakukan ? Abu Dawud mengisahkan
bahwa Abdullah bin Zaid r.a meriwayatkan sbb :
"Ketika
cara memanggil kaum muslimin untuk sholat dimusyawarahkan, suatu malam dalam
tidurku aku bermimpi. Aku melihat ada seseorang sedang menenteng sebuah
lonceng. Aku dekati orang itu dan bertanya kepadanya apakah ia ada maksud
hendak menjual lonceng itu. Jika memang begitu aku memintanya untuk menjual
kepadaku saja.
Orang
tersebut malah bertanya," Untuk apa ? Aku menjawabnya,"Bahwa dengan
membunyikan lonceng itu, kami dapat memanggil kaum muslim untuk menunaikan
sholat." Orang itu berkata lagi,"Maukah kau kuajari cara yang lebih
baik ?" Dan aku menjawab " Ya !"
Lalu dia
berkata lagi, dan kali ini dengan suara yang amat lantang , " Allahu
Akbar,Allahu Akbar.."
Ketika
esoknya aku bangun, aku menemui Rasulullah SAW dan menceritakan perihal mimpi
itu kepada beliau. Dan beliau berkata,"Itu mimpi yang sebetulnya nyata.
Berdirilah disamping Bilal dan ajarilah dia bagaimana mengucapkan kalimat itu.
Dia harus mengumandangkan adzan seperti itu dan dia memiliki suara yang amat
lantang." Lalu akupun melakukan hal itu bersama Bilal."
Rupanya,
mimpi serupa dialami pula oleh Umar r.a, ia juga menceritakannya kepada
Rasulullah SAW . Nabi SAW bersyukur kepada Allah SWT atas semua ini.
Tulisan
diambil dari Al-Islam Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Prof. Arthur
Alison: ''Karena Az Zumar 42''
Namaku
Arthur Alison, seorang profesor yang menjabat Kepala Jurusan Teknik Elektro Universitas London.
Sebagai orang eksak, bagiku semua hal bisa dikatakan benar jika masuk akal dan
sesuai rasio. Karena itulah, pada awalnya agama bagiku tak lebih dari objek
studi. Sampai akhirnya aku menemukan bahwa Al Quran, mampu menjangkau pemikiran
manusia. Bahkan lebih dari itu. Maka aku pun memeluk Islam.
Itu bermula
saat aku diminta tampil untuk berbicara tentang metode kedokteran spiritual.
Undangan itu sampai kepadaku karena
selama beberapa tahun, aku mengetuai Kelompok Studi Spiritual dan
Psikologis Inggris. Saat itu, aku sebenarnya telah mengenal Islam melalui
sejumlah studi tentang agama-agama.
Pada September
1985 itulah, aku diundang untuk mengikuti Konferensi Islam Internasional
tentang 'Keaslian Metode Pengobatan dalam Al Quran'di Kairo. Pada acara itu,
aku mempresentasikan makalah tentang 'Terapi dengan Metode Spiritual dan
Psikologis dalam Al Quran'.
Makalah itu
merupakan pembanding atas makalah lain tentang 'Tidur dan Kematian', yang bisa
dibilang tafsir medis atas Quran surat Az Zumar ayat 42 yang disampaikan
ilmuwan Mesir, Dr. Mohammed Yahya Sharafi.
Fakta-fakta
yang dikemukakan Sharafi atas ayat yang artinya, "Allah memegang jiwa
(orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu
tidurnya; Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya
dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya
pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang
berpikir," telah membukakan mata hatiku terhadap Islam.
Secara
parapsikologis, seperti dijelaskan Al Quran, orang tidur dan orang mati adalah
dua fenomena yang sama. Yaitu dimana ruh terpisah dari jasad. Bedanya, pada
orang tidur, ruh dengan kekuasaan Allah bisa kembali kepada jasad saat orang
itu terjaga. Sedangkan pada orang mati, tidak.
Ayat itu
merupakan penjelasan, mengapa setiap orang yang bermimpi sadar dan ingat bahwa
ia telah bermimpi. Ia bisa mengingat mimpinya, padahal saat bermimpi ia sedang
tidur.
Al Quran
surat Az Zumar ayat 42 ini juga menjadi penjelasan atas orang yang mengalami
koma. Secara fisik, orang yang koma tak ada bedanya dengan orang mati. Tapi ia tak
dapat dinyatakan mati, karena secara psikis ada suatu kesadaran yang masih
hidup.
"Bagaimana
Al Quran yang diturunkan 15 abad silam, bisa menjelaskan sebuah fenomena yang
oleh teori parapsikologis baru bisa dikonsepsikan pada abad ini?" Jawaban
atas pertanyaan inilah yang akhirnya meyakinkan aku untuk memeluk Islam.
Selepas sesi
pemaparan kesimpulan dalam konferensi itu, disaksikan oleh Syekh Jad Al-Haq,
Dr. Mohammed Ahmady dan Dr. Mohammed Yahya Sharafi, akupun menyatakan dengan
tegas bahwa Islam adalah agama yang nyata benarnya.
Terbukti,
isi Al Quran yang merupakan firman Allah pencipta manusia, sesuai dengan
fakta-fakta ilmiah. Kemudian dengan yakin, aku melafadzkan dua kalimat syahadat
yang sudah sangat fasih kubacakan. Sejak itu aku pun menjadi seorang Muslim dan
mengganti namaku menjadi Abdullah Alison.
Sebagai
Ketua Kelompok Studi Spiritual dan Psikologi Inggris, aku telah mengenal banyak
agama melalui sejumlah studi yang dilakukan. Aku mempelajari Hindu, Budha dan
agama serta kepercayaan lainnya. Entah kenapa, ketika aku mempelajari Islam,
aku juga terdorong untuk melakukan studi perbandingan dengan agama lainnya.
Walaupun
baru pada saat konferensi di Mesir, aku yakin benar bahwa Islam sebuah agama besar yang nyata
perbedaannya dengan agama lain. Agama yang paling baik diantara agama-agama
lain adalah Islam. Ia cocok dengan hukum alam tentang proses kejadian manusia.
Maka hanya Islam-lah yang pantas mengarahkan jalan hidup manusia.
Aku
merasakan benar, ada sesuatu yang mengontrol alam ini. Dia itulah Sang Kreator, Allah Swt. Dari
pengalaman bagaimana aku mengenal dan masuk Islam, aku pikir pendekatan ilmiah
Al Quran bisa menjadi sarana efektif untuk mendakwahkan Islam di Barat yang
sangat rasional itu.
Sumber : (Pesantren.net)
Ini cerita
tentang Anisa, seorang gadis kecil yang ceria berusia Lima tahun. Pada suatu sore, Anisa menemani
Ibunya berbelanja di suatu supermarket. Ketika sedang menunggu giliran
membayar, Anisa melihat sebentuk kalung mutiara mungil berwarna putih berkilauan,
tergantung dalam sebuah kotak berwarna pink yang sangat cantik.
Kalung itu
nampak begitu indah, sehingga Anisa sangat ingin memilikinya. Tapi... Dia tahu,
pasti Ibunya akan berkeberatan. Seperti biasanya, sebelum berangkat ke
supermarket dia sudah berjanji tidak akan meminta apapun selain yang sudah
disetujui untuk dibeli.
Dan tadi
Ibunya sudah menyetujui untuk membelikannya kaos kaki ber-renda yang cantik.
Namun karena kalung itu sangat indah, diberanikannya bertanya.
"Ibu,
bolehkah Anisa memiliki kalung ini? Ibu boleh kembalikan kaos kaki yang tadi...
"
Sang Bunda
segera mengambil kotak kalung dari tangan Anisa. Dibaliknya tertera harga Rp
15,000.
Dilihatnya
mata Anisa yang memandangnya dengan penuh harap dan cemas. Sebenarnya dia bisa
saja langsung membelikan kalung itu, namun ia tak mau bersikap tidak
konsisten...
"Oke
... Anisa, kamu boleh memiliki Kalung ini. Tapi kembalikan kaos kaki yang kau
pilih tadi. Dan karena harga kalung ini lebih mahal dari kaos kaki itu, Ibu
akan potong uang tabunganmu untuk minggu depan. Setuju ?"
Anisa
mengangguk lega, dan segera berlari riang mengembalikan kaos kaki ke raknya.
"Terimakasih..., Ibu"
Anisa sangat
menyukai dan menyayangi kalung mutiaranya. Menurutnya, kalung itu membuatnya
nampak cantik dan dewasa. Dia merasa secantik Ibunya. Kalung itu tak pernah
lepas dari lehernya, bahkan ketika tidur.
Kalung itu
hanya dilepasnya jika dia mandi atau berenang. Sebab,kata ibunya, jika basah,
kalung itu akan rusak, dan membuat lehernya menjadi hijau...
Setiap malam
sebelum tidur, ayah Anisa membacakan cerita pengantar tidur. Pada suatu malam,
ketika selesai membacakan sebuah cerita,
Ayah
bertanya "Anisa..., Anisa sayang Enggak sama Ayah ?"
"Tentu
dong... Ayah pasti tahu kalau Anisa sayang Ayah !"
"Kalau
begitu, berikan kepada Ayah kalung mutiaramu...
"Yah...,
jangan dong Ayah ! Ayah boleh ambil "si Ratu" boneka kuda dari
nenek... ! Itu kesayanganku juga
"Ya
sudahlah sayang,... ngga apa-apa !". Ayah mencium pipi Anisa sebelum
keluar dari kamar Anisa.
Kira-kira
seminggu berikutnya, setelah selesai membacakan cerita, Ayah bertanya lagi,
"Anisa..., Anisa sayang nggak sih, sama Ayah?"
"Ayah,
Ayah tahu bukan kalau Anisa sayang sekali pada Ayah?".
"Kalau
begitu, berikan pada Ayah Kalung mutiaramu."
"Jangan
Ayah... Tapi kalau Ayah mau, Ayah boleh ambil boneka Barbie ini.."Kata
Anisa seraya menyerahkan boneka Barbie yang selalu menemaninya bermain.
Beberapa
malam kemudian, ketika Ayah masuk ke kamarnya, Anisa sedang duduk di atas
tempat tidurnya. Ketika didekati, Anisa rupanya sedang menangis diam-diam.
Kedua tangannya tergenggam di atas pangkuan. air mata membasahi
pipinya..."Ada apa Anisa, kenapa Anisa ?" Tanpa berucap sepatah pun,
Anisa membuka tangannya.
Di dalamnya
melingkar cantik kalung mutiara kesayangannya" Kalau Ayah mau...ambillah
kalung Anisa"
Ayah
tersenyum mengerti, diambilnya kalung itu dari tangan mungil Anisa. Kalung itu
dimasukkan ke dalam kantong celana. Dan dari kantong yang satunya, dikeluarkan
sebentuk kalung mutiara putih...sama cantiknya dengan kalung yang sangat
disayangi Anisa..."Anisa... ini untuk Anisa. Sama bukan ? Memang begitu
nampaknya, tapi kalung ini tidak akan membuat lehermu menjadi hijau"
Ya...,
ternyata Ayah memberikan kalung mutiara asli untuk menggantikan kalung mutiara
imitasi Anisa.
Demikian
pula halnya dengan Allah S.W.T. terkadang Dia meminta sesuatu dari kita, karena
Dia berkenan untuk menggantikannya dengan yang lebih baik. Namun, kadang-kadang
kita seperti atau bahkan lebih naif dari Anisa : Menggenggam erat sesuatu yang
kita anggap amat berharga, dan oleh karenanya tidak ikhlas bila harus
kehilangan. Untuk itulah perlunya sikap ikhlas, karena kita yakin tidak akan
Allah mengambil sesuatu dari kita jika tidak akan menggantinya dengan yang
lebih baik.
Sumber : Daarut tauhiid
Berawal dari
sebuah perkenalannya dengan seorang pemuda muslim Evi Cristiani yang kini sudah
menjadi seorang muslimah yang patut dicontoh. Perilaku keislamannya benar-benar
diterapkan dalam kehidupannya sehari-hari walau begitu berat cobaan yang
dihadapinya.
Sekali
syahadat sebagai kesaksian sakral sudah ia ucapkan maka pantang baginya untuk
surut menegakkan kalimat Allah dalam kalbunya.
Sudah pasti orang tuanya menentang keinginannya, Evi pun harus hijrah ke
tempat kost agar ibadahnya lancar ia kerjakan.
Belum lagi
beres masalah dengan orang tuanya lantaran ia masuk Islam, Evi harus menghadapi
masalah di tempat kerjanya. Gadis berusia 27 tahun bekerja di sebuah biro
perjalanan yang mayoritas karyawannya beragama non muslim. Profesionalisme juga
tidak dijalankan di sana karena sikap sebagian besar karyawannya masih memakai
sentimen agama.
Hasilnya Evi
jadi bulan-bulanan para atasan karena dianggap tidak sejalan dengan pola pikir
mereka. Ada acara rutin tiap dua pekan sekali yang wajib diikuti oleh karyawan
bagian Evi bertugas. Acara yang sarat dengan unsur maksiat itu adalah
mengunjungi bar-bar dan bersenang-senang hingga mabuk.
Dulu ia
tidak pernah lewatkan acara itu tapi sejak ia masuk Islam jelas acara model itu
ia tolak mentah-mentah. Segala alasan ia cari agar ia bisa terbebas dari dosa
itu. Sampai akhirnya atasannya jenuh dan tidak akan mengajak Evi hura-hura
lagi. Beres dengan yang satu itu muncullah masalah lain yang tak kalah
menyakitkan
Ketika
seorang kawannya pulang dari tugas ke eropa, ia membawa oleh-oleh yang
dibagikan ke rekan-rekannya kantornya tak terkecualiEvi. Oleh-oleh berupa kue
itu tak disangka mengandung daging babi. Lantaran Evi tidak tahu ia makan
segigit kue itu lalu kawannya punberkata,"Evi itu kan ada babinya kok
dimakan juga"
Mendengar
hal itu Evi pun lari ke kamar mandi dan memuntahkan sebisa-bisa makanan dalam
mulutnya sambil beristighfar tak henti-henti. Kawannya pun ia tegur, tidak
keras tapi tegas. Si kawan merasa tidak salah dan berkelit. Evi menghentikan
debatitu dan coba menyabarkan dirinya.
Yang
diingatnya hanya kekuatan Allah agar bisa memberinya kekuatan untuk dapat
bertahan dari cobaan ini. Sejak itulah kebencian mulai tumbuh subur di antara
rekan sejawatnya. Menanggapi hal tersebut atasannya segera memindahkannya ke
bagian lain.
Lagi-lagi di
bagian yang baru Evi dihujam oleh fitnah yang bertubi tubi. Manajernya yang
baru justru yang menjadi momok lahirnya fitnahan tersebut. Cobaan demi cobaan
itu dipuncaki dengan dipanggilnya ia oleh pihak SDM.
Ia jelaskan
bahwa ia harus menjalankan kewajibannya sebagai muslim yaitu shalat dan
berusaha menghindari kemaksiatan sekeras mungkin.Jalan keluar tidak ketemu dan
PHK jadi solusi yang terbaik.Evi terima dengan ikhlas,"rejekiku sudah
diatur olehNya," gumam Evi mantap sambil keluar kantor dengan perasaan
lega.
Semoga Allah
Swt memberikan kekuatan lahir bathin buat sdri. Evi yang telah mendapatkan
Hidayah di jalan Allah. Amin
Penulis Amma
Pada suatu
hari Ibrahim bin Adham didatangi oleh seorang lelaki yang gemar melakukan
maksiat. Lelaki tersebut bernama Jahdar bin Rabi'ah. Ia meminta nasehat kepada
Ibrahim agar ia dapat menghentikan perbuatan maksiatnya.
Ia berkata,
"Ya Aba Ishak, aku ini seorang yang suka melakukan perbuatan maksiat.
Tolong berikan aku cara yang ampuh untuk menghentikannya!"
Setelah
merenung sejenak, Ibrahim berkata, "Jika kau mampu melaksanakan lima
syarat yang kuajukan, aku tidak keberatan kau berbuat dosa."
Tentu saja
dengan penuh rasa ingin tahu yang besar Jahdar balik bertanya, "Apa saja
syarat-syarat itu, ya Aba Ishak?"
"Syarat
pertama, jika engkau melaksanakan perbuatan maksiat, janganlah kau memakan
rezeki Allah," ucap Ibrahim.
Jahdar
mengernyitkan dahinya lalu berkata, "Lalu aku makan dari mana? Bukankah
segala sesuatu yang berada di bumi ini adalah rezeki Allah?"
"Benar,"
jawab Ibrahim dengan tegas. "Bila engkau telah mengetahuinya, masih
pantaskah engkau memakan rezeki-Nya, sementara Kau terus-menerus melakukan
maksiat dan melanggar perintah-perintahnya?"
"Baiklah,"
jawab Jahdar tampak menyerah. "Kemudian apa syarat yang kedua?"
"Kalau
kau bermaksiat kepada Allah, janganlah kau tinggal di bumi-Nya," kata
Ibrahim lebih tegas lagi.
Syarat kedua
membuat Jahdar lebih kaget lagi. "Apa? Syarat ini lebih hebat lagi. Lalu
aku harus tinggal di mana? Bukankah bumi dengan segala isinya ini milik
Allah?"
"Benar
wahai hamba Allah. Karena itu, pikirkanlah baik-baik, apakah kau masih pantas
memakan rezeki-Nya dan tinggal di bumi-Nya, sementara kau terus berbuat
maksiat?" tanya Ibrahim.
"Kau
benar Aba Ishak," ucap Jahdar kemudian. "Lalu apa syarat
ketiga?" tanya Jahdar dengan penasaran.
"Kalau
kau masih bermaksiat kepada Allah, tetapi masih ingin memakan rezeki-Nya dan
tinggal di bumi-Nya, maka carilah tempar bersembunyi dari-Nya."
Syarat ini
membuat lelaki itu terkesima. "Ya Aba Ishak, nasihat macam apa semua ini?
Mana mungkin Allah tidak melihat kita?"
"Bagus!
Kalau kau yakin Allah selalu melihat kita, tetapi kau masih terus memakan
rezeki-Nya, tinggal di bumi-Nya, dan terus melakukan maksiat kepada-Nya, pantaskah
kau melakukan semua itu?" tanya Ibrahin kepada Jahdar yang masih tampak
bingung dan terkesima. Semua ucapan itu membuat Jahdar bin Rabi'ah tidak
berkutik dan membenarkannya.
"Baiklah,
ya Aba Ishak, lalu katakan sekarang apa syarat keempat?"
"Jika
malaikat maut hendak mencabut nyawamu, katakanlah kepadanya bahwa engkau belum
mau mati sebelum bertaubat dan melakukan amal saleh."
Jahdar
termenung. Tampaknya ia mulai menyadari semua perbuatan yang dilakukannya
selama ini. Ia kemudian berkata, "Tidak mungkin... tidak mungkin semua itu
aku lakukan."
"Wahai
hamba Allah, bila kau tidak sanggup mengundurkan hari kematianmu, lalu dengan
cara apa kau dapat menghindari murka Allah?"
Tanpa banyak
komentar lagi, ia bertanya syarat yang kelima, yang merupakan syarat terakhir.
Ibrahim bin Adham untuk kesekian kalinya memberi nasihat kepada lelaki itu.
"Yang
terakhir, bila malaikat Zabaniyah hendak menggiringmu ke neraka di hari kiamat
nanti, janganlah kau bersedia ikut dengannya dan menjauhlah!"
Lelaki itu
nampaknya tidak sanggup lagi mendengar nasihatnya. Ia menangis penuh
penyesalan. Dengan wajah penuh sesal ia berkata, "Cukup…cukup ya Aba
Ishak! Jangan kau teruskan lagi. Aku tidak sanggup lagi mendengarnya. Aku
berjanji, mulai saat ini aku akan beristighfar dan bertaubat nasuha kepada
Allah."
Jahdar
memang menepati janjinya. Sejak pertemuannya dengan Ibrahim bin Adham, ia
benar-benar berubah. Ia mulai menjalankan ibadah dan semua perintah-perintah
Allah dengan baik dan khusyu'.
Ibrahim bin
Adham yang sebenarnya adalah seorang pangeran yang berkuasa di Balakh itu
mendengar bahwa di salah satu negeri taklukannya, yaitu negeri Yamamah, telah
terjadi pembelotan terhadap dirinya. Kezaliman merajalela. Semua itu terjadi
karena ulah gubernur yang dipercayainya untuk memimpin wilayah tersebut.
Selanjutny,
Ibrahim bin Adham memanggil Jahdar bin Rabi'ah untuk menghadap. Setelah ia
menghadap, Ibrahim pun berkata, "Wahai Jahdar, kini engkau telah
bertaubat. Alangkah mulianya bila taubatmu itu disertai amal kebajikan. Untuk
itu, aku ingin memerintahkan engkau untuk memberantas kezaliman yang terjadi di
salah satu wilayah kekuasaanku."
Mendengar
perkataan Ibrahim bin Adham tersebut Jahdar menjawab, "Wahai Aba Ishak,
sungguh suatu anugrah yang amat mulia bagi saya, di mana saya bisa berbuat yang
terbaik untuk umat. Dan tugas tersebut akan saya laksanakan dengan segenap
kemampuan yang diberikan Allah kepada saya. Kemudian di wilayah manakah
gerangan kezaliman itu terjadi?"
Ibrahim bin
Adham menjawab, "Kezaliman itu terjadi di Yamamah. Dan jika engkau dapat
memberantasnya, maka aku akan mengangkat engkau menjadi gubernur di sana."
Betapa
kagetnya Jahdaar mendengar keterangan Ibrahim bin Adham. Kemudian ia berkata,
"Ya Allah, ini adalah rahmat-Mu dan sekaligus ujian atas taubatku. Yamamah
adalah sebuah wilayah yang dulu sering menjadi sasaran perampokan yang aku
lakukan dengan gerombolanku. Dan kini aku datang ke sana untuk menegakkan
keadilan. Subhanallah, Maha Suci Allah atas segala rahmat-Nya."
Kemudian,
berangkatlah Jahdar bin Rabi'ah ke negeri Yamamah untuk melaksanakan tugas
mulia memberantas kezaliman, sekaligus menunaikan amanah menegakkan keadilan.
Pada akhirnya ia berhasil menunaikan tugas tersebut, serta menjadi hamba Allah
yang taat hingga akhir hayatnya.
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi
Islam Indonesia
Mengatakan
kebenaran kepada penguasa yang menyeleweng memang perlu keberanian yang tinggi,
sebab resikonya besar. Bisa-bisa akan kehilangan kebebasan, mendekam dalam
penjara, bahkan lebih jauh lagi dari itu, nyawa bisa melayang. Karena itu,
tidaklah mengherankan ketika pada suatu saat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam ditanya oleh seorang sahabat perihal perjuangan apa yang paling utama,
maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun menjawab, "Mengatakan
kebenaran kepada penguasa yang menyeleweng."
Demikian
sabda Tasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana yang dikisahkan
dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasa'i, Abu Daud, dan
Tirmidzi, berdasarkan penuturan Abu Sa'id al-Khudry Radhiyallahu 'anhu, dan Abu
Abdillah Thariq bin Syihab al-Bajily al-Ahnasyi. Oleh sebab itu, sedikit sekali
orang yang berani melakukannya, yakni mengatakan kebenaran kepada penguasa yang
menyeleweng.
Di antara
yang sedikit itu (orang yang pemberani) terdapatlah nama Thawus al-Yamani. Ia
adalah seorang tabi'in, yakni generasi yang hidup setelah para sahabat Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, bertemu dengan mereka dan belajar dari mereka.
Dikisahkan, suatu ketika Hisyam bin Abdul Malik, seorang khalifah dari Bani
Umayyah, melakukan perjalanan ke Mekah guna melaksanakan ibadah haji. Di saat
itu beliau meminta agar dipertemukan dengan salah seorang sahabat Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang hidup. Namun sayang, ternyata ketika itu tak
seorang pun sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang masih hidup.
Semua sudah wafat. Sebagai gantinya, beliau pun meminta agar dipertemukan
dengan seorang tabi'in.
Datanglah
Thawus al-Yamani menghadap sebagai wakil dari para tabi'in. Ketika menghadap,
Thawus al-Yamani menanggalkan alas kakinya persis ketika akan menginjak
permadani yang dibentangkan di hadapan khalifah. Kemudia ia langsung saja
nyelonong masuk ke dalam tanpa mengucapkan salam perhormatan pada khalifah yang
tengah duduk menanti kedatangannya. Thawus al-Yamani hanya mengucapkan salam
biasa saja, "Assalamu'alaikum," langsung duduk di samping khalifah
seraya bertanya, "Bagaimanakah keadaanmu, wahai Hisyam?"
Melihat
perilaku Thawus seperti itu, khalifah merasa tersinggung. Beliau murka bukan
main. Hampir saja beliau memerintahkan kepada para pengawalnya untuk membunuh
Thawus. Melihat gelagat yang demikian, buru-buru Thawus berkata, "Ingat,
Anda berada dalam wilayah haramullah dan haramurasulihi (tanah suci Allah dan tanah
suci Rasul-Nya). Karena itu, demi tempat yang mulia ini, Anda tidak
diperkenankan melakukan perbuatan buruk seperti itu!"
"Lalu
apa maksudmu melakukakan semua ini?" tanya khalifah.
"Apa
yang aku lakukan?" Thawus balik bertanya.
Dengan geram
khalifah pun berkata, "Kamu tanggalkan alas kaki persis di depan
permadaniku. Kamu masuk tanpa mengucapkan salam penghormatan kepadaku sebagai
khalifah, dan juga tidak mencium tanganku. Lalu, kamu juga memanggilku hanya
dengan nama kecilku, tanpa gelar dan kun-yahku. Dan, sudah begitu, kamu berani
pula duduk di sampingku tanpa seizinku. Apakah semua itu bukan penghinaan
terhadapku?"
"Wahai
Hisyam!" jawab Thawus, "Kutanggalkan alas kakiku karena aku juga
menanggalkannya lima kali sehari ketika aku menghadap Tuhanku, Allah 'Azza wa
Jalla. Dia tidak marah, apalagi murka kepadaku lantaran itu."
"Aku
tidak mencium tanganmu lantaran kudengar Amirul Mukminin Ali Radhiyallahu 'anhu
pernah berkata bahwa seorang tidak boleh mencium tangan orang lain, kecuali
tangan istrinya karena syahwat atau tangan anak-anaknya karena kasih
sayang."
"Aku
tidak mengucapkan salam penghormatan dan tidak menyebutmu dengan kata-kata
amiirul mukminin lantaran tidak semua rela dengan kepemimpinanmu; karenanya aku
enggan untuk berbohong."
"Aku
tidak memanggilmu dengan sebutan gelar kebesaran dan kun-yah lantaran Allah
memanggil para kekasih-Nya di dalam Alquran hanya dengan sebutan nama semata,
seperti ya Daud, ya Yahya, ya 'Isa; dan memanggil musuh-musuh-Nya dengan
sebutan kun-yah seperti Abu Lahab...."
"Aku
duduk persis di sampingmu lantaran kudengar Amiirul Mukminin Ali Radhiyallahu
'anhu pernah berkata bila kamu ingin melihat calon penghuni neraka, maka
lihatlah orang yang duduk sementara orang di sekitarnya tegak berdiri."
Mendengar
jawaban Thawus yang panjang lebar itu, dan juga kebenaran yang terkandung di
dalamnya, khalifah pun tafakkur karenanya. Lalu ia berkata, "Benar sekali
apa yang Anda katakan itu. Nah, sekarang berilah aku nasehat sehubungan dengan
kedudukan ini!" "Kudengar Amiirul Mukminin Ali Radhiyallahu 'anhu
berkata dalam sebuah nasehatnya," jawab Thawus, "Sesungguhnya dalam
api neraka itu ada ular-ular berbisa dan kalajengking raksasa yang menyengat
setiap pemimpin yang tidak adil terhadap rakyatnya."
Mendengar
jawaban dan nasehat Thawus seperti itu, khalifah hanya terdiam, tak
mengeluarkan sepatah kata pun. Ia menyadari bahwa menjadi seorang pemimpin
harus bersikap arif dan bijaksana serta tidak boleh meninggalkan nilai-nilai
keadilan bagi seluruh rakyatnya. Setelah berbincang-bincang beberapa lamanya
perihal masalah-masalah yang penting yang ditanyakan oleh khalifah, Thawus
al-Yamani pun meminta diri. Khalifah pun memperkenankannya dengan segala hormat
dan lega dengan nasehat-nasehatnya.
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi
Islam Indonesia
Seketika itu
juga Abu Nawas menyadari apa yang terjadi. Ia lalu menjelaskan kejadian yang
sebenarnya dari awal hingga akhir. Orang-orang pun percaya pada penuturan Abu
Nawas. Sebab, selama ini Abu Nawas dikenal sebagai orang yang jujur dan berbudi
pekerti baik.
Setelah
orang kampung meninggalkan rumahnya, Abu Nawas pun bermaksud untuk
mengembalikan terompah ajaib itu kepada pedagangnya di pasar. Setelah
berpamitan pada istrinya, ia segera pergi ke pasar untuk menemui si pedagang
terompah tersebut. Tak lama kemudian, sampailah ia di pasar dan menemukan
pedagang tersebut.
"Assalamu'alaikum!,
ucap Abu Nawas memberi salam.
"Wa'alaikumussalam,"
jawab si pedagang, "Ternyata Engkau Tuan, bagaimana kabar Anda?"
"Kabar
jelek. Aku selalu ditimpa kemalangan," jawab Abu Nawas.
"Ditimpa
kemalangan bagaimana?" tanya pedagang itu penasaran.
"Gara-gara
terompah ini, aku terus-menerus ditimpa kemalangan. Padahal, dulu Engkau
mengatakan bahwa terompah ini bisa mendatangkan keberuntungan. Aku bisa menjadi
orang terkenal dan kaya, tetapi mana buktinya? Malah aku sering kena marah
orang kampung karena terompah ini."
Kemudian ia
menceritakan beberapa kejadian yang menimpanya.
"Seingat
saya, saya tidak pernah mengatakan seperti itu tuan?" sergah si pedagang
tua itu. "Saya mengatakan bahwa bila Tuan mulanya orang yang tidak punya,
maka dengan membelinya, Tuan akan menjadi orang yang punya. Buktinya sekarang
Tuan telah mempunyai terompah ini dan dikenal oleh orang banyak karena
memilikinya."
Mendengar
penuturan pedagang itu, Abu Nawas hanya bisa diam saja. Ia menyadari bahwa
dirinya telah salah tafsir. "Tapi…tapi…mengapa terompah ini Engkau katakan
terompah ajaib?" tanya Abu Nawas kemudian.
"Oh,
itu?" pedagang tersebut menjawab, "Sebab merek terompah itu adalah
Ajaib, sebagaimana dinamakan oleh pembuatnya. Jadi, pantaslah bila saya
menyebutnya terompah ajaib, sebagaimana kita menyebut ikan ikan mas. Sebab ikan
itu berwarna keemasan."
Sekali lagi
Abu Nawas tidak bisa berkata apa-apa mendengar penuturan pedagang itu. Lantas
ia mohon diri begitu saja. "Tapi, tunggu tuan!" cegah pedagang itu
ketika melihat Abu Nawas bergegas akan pergi.
"Saya
ingin mengatakan sesuatu kepada tuan."Tuan ada sedikit pun rasa percaya
bahwa sesuatu selain Allah itu bisa mendatangkan kekayaan atau keberuntungan
atau yang lainnya. Sebab, percaya pada sesuatu selain Allah itu bisa membuat
kita syirik dan mendapatkan kesusahan baik di dunia maupun di akhirat kelak,
buktinya sebagaiman tuan alami. Oleh karena itu, segeralah bertaubat kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala sebelum semuanya terlambat. Sebab, bagaimana pun juga
syirik seperti ini jarang sekali bisa kita sadari, kecuali hanya hamba-hamba
Allah yang selalu berserah diri kepada-Nya."
Mendengar
penuturan seperti itu, Abu Nawas baru menyadari kesalahannya. Ternyata banyak
sekali hal-hal yang bisa membawa kepada perbuatan yang dimurkai Allah. Mulai
saat itulah ia sangat berhati-hati kepada hal-hal yang (kadang-kadang tanpa
disadari) akan menjerumuskan kita pada perbuatan syirik terhadap Allah
Subhanahu wa Ta'ala.
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi
Islam Indonesia
Pada zaman
pemerintahan Umar bin Khaththab hiduplah seorang janda miskin bersama seorang
anak gadisnya di sebuah gubuk tua di pinggiran kota Mekah. Keduanya sangat
rajin beribadah dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Setiap pagi, selesai salat subuh, keduanya memerah susu kambing di kandang.
Penduduk kota Mekah banyak yang menyukai susu kambing wanita itu karena mutunya
yang baik.
Pada suatu
malam, Khalifah Umar ditemani pengawalnya berkeliling negeri untuk melihat dari
dekat keadaan hidup dan kesejahteraan rakyatnya. Setelah beberapa saat
berkeliling, sampailah khalifah di pinggiran kota Mekah. Beliau tertarik
melihat sebuah gubuk kecil dengan cahaya yang masih tampak dari dalamnya yang
menandakan bahwa penghuninya belum tidur. Khalifah turun dari kudanya, lalu
mendekati gubuk itu. Samar-samar telinganya mendengar percakapan seorang wanita
dengan anaknya.
"Anakku,
malam ini kambing kita hanya mengeluarkan susu sedikit sekali. Ini tidak cukup
untuk memenuhi permintaan pelanggan kita besok pagi," keluh wanita itu
kepada anaknya.
Dengan
tersenyum, anak gadisnya yang beranjak dewasa itu menghibur, "Ibu, tidak
usah disesali. Inilah rezeki yang diberikan Allah kepada kita hari ini. Semoga
besok kambing kita mengeluarkan susu yang lebih banyak lagi."
"Tapi,
aku khawatir para pelanggan kita tidak mau membeli susu kepada kita lagi.
Bagaimana kalau susu itu kita campur air supaya kelihatan banyak?"
"Jangan,
Bu!" gadis itu melarang. "Bagaimanapun kita tidak boleh berbuat
curang. Lebih baik kita katakan dengan jujur pada pelanggan bahwa hasil susu
hari ini hanya sedikit. Mereka tentu akan memakluminya. Lagi pula kalau
ketahuan, kita akan dihukum oleh Khalifah Umar. Percayalah, ketidakjujuran itu
akan menyiksa hati."
Dari luar
gubuk itu, Khalifah Umar semakin penasaran ingin terus mendengar kelanjutan
percakapan antara janda dan anak gadisnya itu.
"Bagaimana
mungkin khalifah Umar tahu!" kata janda itu kepada anaknya. "Saat ini
beliau sedang tertidur pulas di istananya yang megah tanpa pernah mengalami
kesulitan seperti kita ini?"
Melihat
ibunya masih tetap bersikeras dengan alasannya, gadis remaja itu tersenyum
dengan lembut dan berkata, "Ibu, memang Khalifah tidak melihat apa yang
kita lakukan sekarang. Tapi Allah Maha Melihat setiap gerak-gerik makhluknya.
Meskipun kita miskin, jangan sampai kita melakukan sesuatu yang dimurkai
Allah."
Dari luar
gubuk, khalifah tersenyum mendengar ucapan gadis itu. Beliau benar-benar kagum
dengan kejujurannya. Ternyata kemiskinan dan himpitan keadaan tidak membuatnya
terpengaruh untuk berbuat curang. Setelah itu khalifah mengajak pengawalnya
pulang.
Keesokan
harinya, Umar memerintahkan beberapa orang untuk menjemput wanita pemerah susu
dan anak gadisnya untuk menghadap kepadanya. Beliau ternyata bermaksud
menikahkan putranya dengan gadis jujur itu.
Sungguh
sebuah teladan bagi kita semua, bahwa kejujuran karena takut kepada Allah
adalah suatu harta yang tak ternilai harganya. Mungkin ini yang sulit kita
dapatkan sekarang.
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi
Islam Indonesia
Seorang
lelaki yang dicurigai menyimpan harta titipan milik dinasti Bani Umayyah
dilaporkan kepada Khalifah al-Manshur. Ia segera ditangkap dan dihadapkan
kepada sang Khalifah.
"Kami
dengar laporan, kamu menyimpan harta titipan milik Bani Umayyah. Sekarang
serahkan kepada kami," kata Khalifah.
"Amirul
Mukminin, apakah Tuan pewaris Bani Umayyah?" tanyanya.
"Tidak,''jawab
sang Khalifah.
"Atau,
mereka sudah memberi wasiat kepada Anda?"
"Juga
tidak."
"Lalu
mengapa Tuan meminta aku menyerahkan harta yang ada di tanganku?"
Sejenak
Khalifah al-Manshur menunduk tanda ia sedang berpikir. Kemudian sambil
mengangkat kepala ia beujar:
"Sesungguhnya
para pemimpin dinasti Bani Umayyah suka berlaku zaiim kepada kaum muslimin
waktu itu. Selaku khalifah, kami berhak mengurus hak mereka. Jadi, kami
bermaksud mengambil hak mereka, lalu kami simpan ke dalam kas negara."
"Tuan
perlu mengajukan bukti yang adil bahwa harta milik Bani Umayyah yang ada padaku
adalah milik kaum muslimin yang dirampas secara tidak sah. Sebab, boleh jadi
ini adalah mumi milik mereka sendiri."
"Kamu
benar. Kamu memang berhak atas harta itu," kata sang Khalifah.
"Terima
kasih atas pengertian Tuan, Amirul Mukminin."
"Sekarang
apa keperluanmu?"
"Aku
ingin Tuan berkenan mempertemukan aku dengan orang yang melaporkan masalah ini
kepadamu. Aku merasa penasaran ingin mengetahuinya."
Permintaan
tersebut dikabulkan oleh Khalifah al-Manshur. Begitu dipertemukan, akhirnya
jelas bahwa orang yang melaporkan itu adalah budak lelakinya sendiri yang telah
cukup lama menghilang, tetapi ia masih ingat dan mengenalinya.
"Dia
ini budakku, Amirul Mukminin," katanya, "Setelah mencuri uangku tiga
ribu dinar, ia minggat. Dan, mungkin karena takut aku mencarinya, ia kemudian
melaporkan aku kepada tuan yang bukan-bukan."
Setelah
dimintai penjelasan dan ditakut-takuti oleh Khalifah al-Manshur, akhirnya budak
itu mengakui semua perbuatannya yang tercela tersebut.
"Kami
minta kamu memaafkannya," kata Khalifah.
"Sudah
aku maafkan. Bahkan, aku memerdekakan dia. Selain mengikhlaskan uang tiga ribu
dinar yang telah ia curi, aku juga ingin memberinya tiga ribu dinar lagi,"
katanya sambil menyerahkan sebuah bungkusan. Kemudian ia pun beranjak pergi.
Khalifah
al-Manshur merasa kagum atas sikap warganya itu seraya berkata,
"Sungguh
luar biasa dia!"
Sumber: al-Mustajad min Fa'alat al-Ajwad,
at-Tanukhi
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi
Islam Indonesia
Sumiyah,
ibunda Ziyad, adalah seorang wanita pelacur. Abu Sufyan bin Harb mengaku bahwa
dirinya satu-satunya lelaki yang menghamili wanita itu. Jadi dia ayah Ziyad.
Suatu hari
Khalifah Mu'awiyah naik ke atas mimbar, dan menyuruh Ziyad untuk berdiri di sampingnya.
"Saudara-saudara
sekalian, sungguh aku sudah mengenal siapa Ziyad ini. Tetapi, siapa di antara
kalian yang memiliki bukti, silakan ajukan!" kata Mu'awiyah kepada para
hadirin.
Semua yang
hadir berdiri seraya memberikan kesaksian bahwa Ziyad adalah putera Abu Sufyan.
Oleh Mu'awiyah ia lalu diangkat sebagai penguasa Kufah merangkap Bashrah.
Pada hari
penobatan Ziyad sebagai penguasa kedua wilayah tersebut diadakan upacara
arak-arakan yang cukup meriah. Seorang lelaki buta dari suku Bani Makhzum yang biasa
dipanggil Abul Urban ikut menonton di pinggir jalan.
"Siapa
yang diangkat sebagai penguasa kali ini?" tanya Abul Urban kepada
seseorang di sebelahnya.
"Ziyad
bin Abu Sufyan," jawabnya.
"Apa?
Setahuku Abu Sufyan tidak punya putera bernama Ziyad," kata Abul Urban.
"Jadi,
Ziyad siapa?" tanya orang itu.
"Sungguh
banyak hal yang telah dirusak Allah, banyak rumah yang telah dirobohkan-Nya,
dan banyak budak yang telah dikembalikan-Nya kepada tuan-tuannya," jawab
Abul Urban.
Seorang
mata-mata kerajaan kebetulan mendengar ucapan Abul Urban tersebut. Ia lalu
melaporkannya kepada Mu'awiyah. Khalifah ini segera mengirim seorang kurir
membawa sepucuk surat berisi:
"Celaka
kamu oleh ibumu. Setibanya suratku ini potonglah lidah laki-laki buta dan suku
Bani Makhzum itu jika ia berani mengatakan lagi kalau kamu bukan putera Abu
Sufyan."
Ketika si
kurir hendak mohon diri, Ziyad menitipkan uang sebanyak seribu dinar untuk
Khalifah Mu'awiyah, seraya berpesan:
"Sampaikan
salamku kepadanya. Katakan kepadanya, aku baru bisa mengirim uang sejumlah ini.
Gunakan lebih dahulu! Kali lain aku akan mengiriminya lagi."
Dengan
ditemani seorang pengawal, esoknya Ziyad menemui laki-laki tunanetra dari Bani
Makhzum itu.
Setelah
mengucapkan salam, pengawal bertanya:
"Siapa
orang yang bersamaku ini?"
"Dia
pasti Ziyad bin Abu Sufyan," jawabnya dengan tegas.
Sepeninggal
kedua tamunya, laki-laki tunanetra dari suku Bani Makhzum itu menangis seraya
berkata,
"Demi
Allah, aku mengenal persis siapa Abu Sufyan."
Sumber:
Muhadharat al-Asibba, al-Raghib al-Ashfahani
Al-Islam -
Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Di Kufah,
Abu Hanifah mempunyai tetangga tukang sepatu. Sepanjang hari bekerja, menjelang
malam ia baru pulang ke rumah. Biasanya ia membawa oleh-oleh berupa daging
untuk dimasak atau seekor ikan besar untuk dibakar. Selesai makan, ia terus
minum tiada henti-hentinya sambil bemyanyi, dan baru berhenti jauh malam
setelah ia merasa mengantuk sekali, kemudian tidur pulas.
Abu Hanifah
yang sudah terbiasa melaksanakan salat sepanjang malam, tentu saja merasa
terganggu oleh suara nyanyian si tukang sepatu tersebut. Tetapi, ia diamkan
saja. Pada suatu malam, Abu Hanifah tidak mendengar tetangganya itu
bernyanyi-nyanyi seperti biasanya. Sesaat ia keluar untuk mencari kabarnya.
Ternyata menurut keterangan tetangga lain, ia baru saja ditangkap polisi dan
ditahan.
Selesai
salat subuh, ketika hari masih pagi, Abu Hanifah naik bighalnya ke istana. Ia
ingin menemui Amir Kufah. Ia disambut dengan penuh khidmat dan hormat. Sang
Amir sendiri yang berkenan menemuinya.
"Ada
yang bisa aku bantu?" tanya sang Amir.
"Tetanggaku
tukang sepatu kemarin ditangkap polisi. Tolong lepaskan ia dari tahanan, Amir,
" jawab Abu Hanifah.
"Baikiah,"
kata sang Amir yang segera menyuruh seorang polisi penjara untuk melepaskan
tetangga Abu Hanifah yang baru ditangkap kemarin petang.
Abu Hanifah
pulang dengan naik bighalnya pelan-pelan. Sementara, si tukang sepatu berjalan
kaki di belakangnya. Ketika tiba di rumah, Abu Hanifah turun dan menoleh kepada
tetangganya itu seraya berkata,
"Bagaimana?
Aku tidak mengecewakanmu kan?"
"Tidak,
bahkan sebaliknya." Ia menambahkan, "Terima kasih. Semoga Allah
memberimu balasan kebajikan."
Sejak itu ia
tidak lagi mengulangi kebiasaannya, sehingga Abu Hanifah dapat merasa lebih
khusyu' dalam ibadahnya setiap malam.
Sumber:
Al-Thabaqat al-Saniyyat fi Tajarun al-Hanafiyat, Taqiyyuddin bin Abdul Qadir
al-Tammii
Al-Islam -
Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
13. MULAILAH BICARA
Ketika
hendak melepas pasukan yang akan terjun ke dalam medan pertempuran, seorang
jenderal yang dipercaya sebagai komandan menghadap Khalifah Mu'awiyah bin Abu
Sufyan. Setelah menanyakan tentang keadaan serta persiapan pasukan, Khalifah
Mu'awiyah mengajak si jenderal berbincang-bincang sejenak. Namun tiba-tiba si
jenderal mengeluarkan suara kentut. Seketika itu ia terdiam malu.
"Ayo,
mulailah bicara. Demi Allah, aku lebih sering mendengar suara itu dari orang
lain daripada diriku sendiri," kata Khalifah Mu'awiyah.
Sumber: Ansab al-Asyraf, al-Baladziri
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi
Islam Indonesia
Sari al-Suqthi,
seorang ulama ahli ilmu tauhid yang sangat wara' berkata, "Sudah tiga
puluh tahun lamanya aku selalu membaca istighfar, dan baru sekali ini aku
membaca alhamdulillah."
"Bagaimana
ceritanya?" tanya seorang sahabatnya.
"Pada
waktu terjadi peristiwa kebakaran di pasar Baghdad, seseorang dengan
tergopoh-gopoh datang menemuiku seraya memberitahukan bahwa kedaiku selamat.
Spontan aku berucap 'Alhamdulillah!' Tetapi, lantas aku menyesal, karena
mensyukuri keberuntunganku sendiri di atas penderitaan orang
banyak."jawabnya.
Sumber: Al-Wafi bi al-Wafyat, al- Shafadi
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi
Islam Indonesia
Suatu hari
al-Hajjaj berbekam. Ketika baru saja memulai pekerjaannya, si tukang bekam
berkata, "Senang sekali seandainya Tuan mau menceritakan kepadaku tentang
ceritamu dengan Ibnu al-Asy'ats. Maksudku mengapa ia sampai berani
menentangmu?"
"Selesaikan
dahulu pekerjaanmu ini. Nanti pasti akan aku ceritakan padamu," jawab
al-Hajjaj.
Berkali-kali
tukang bekam itu mengulangi permintaannya. Dan, berkali-kali pula al-Hajjaj
meyakinkan bahwa ia akan memenuhinya setelah selesai berbekam. Begitu selesai
berbekam dan membereskan segala sesuatunya, termasuk membersihkan darah,
al-Hajjaj memerintahkan supaya memanggil si tukang bekam.
"Aku
tadi sudah berjanji kepadamu akan mengungkapkan ceritaku dengan Ibnu
al-Asy'ats. Bahkan, aku telah bersumpah segala." "Baiklah, sekarang
akan aku penuhi," kata al-Hajjaj.
"Terima
kasih, Tuan masih ingat," kata si tukang bekam.
Tiba-tiba
al-Hajjaj berteriak memanggil pelayan agar mengambil cambuk. Tidak lama
kemudian si pelayan muncul dengan membawa cambuk. Si tukang bekam disuruh
telanjang. Setelah panjang lebar mengungkapkan cerita dirinya dengan Ibnu
al-Asy'ats, al-Hajjaj lalu
menghajar si
tukang bekam dengan cambuk sebanyak lima ratus kali, sehingga tubuhnya babak
belur dan hampir mati.
"Aku
telah penuhi janjiku kepadamu. Lain kali jika kamu memintaku menceritakan
pengalamanku dengan selain Ibnu al-Asy'ats tentu akan aku penuhi lagi, asal
dengan syarat seperti ini," kata al-Hajjaj.
Sumber: al-Wuzara, Hilal bin Muhsin
al-Shabi'i
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi
Islam Indonesia
Alkisah,
hiduplah pada zaman dahulu seorang yang terkenal dengan kesalehannya, bernama
al-Balkhi. Ia mempunyai sahabat karib yang bernama Ibrahim bin Adham yang
terkenal sangat zuhud. Orang sering memanggil Ibrahim bin Adham dengan
panggilan Abu Ishak.
Pada suatu
hari, al-Balkhi berangkat ke negeri orang untuk berdagang. Sebelum berangkat,
tidak ketinggalan ia berpamitan kepada sahabatnya itu. Namun belum lama
al-Balkhi meninggalkan tempat itu, tiba-tiba ia datang lagi. Sahabatnya menjadi
heran, mengapa ia pulang begitu cepat dari yang direncanakannya. Padahal negeri
yang ditujunya sangat jauh lokasinya. Ibrahim bin Adham yang saat itu berada di
masjid langsung bertanya kepada al-Balkhi, sahabatnya. "Wahai al-Balkhi
sahabatku, mengapa engkau pulang begitu cepat?"
"Dalam
perjalanan", jawab al-Balkhi, "aku melihat suatu keanehan, sehingga
aku memutuskan untuk segera membatalkan perjalanan".
"Keanehan
apa yang kamu maksud?" tanya Ibrahim bin Adham penasaran.
"Ketika
aku sedang beristirahat di sebuah bangunan yang telah rusak", jawab
al-Balkhi menceritakan, "aku memperhatikan seekor burung yang pincang dan
buta. Aku pun kemudian bertanya-tanya dalam hati. "Bagaimana burung ini
bisa bertahan hidup, padahal ia berada di tempat yang jauh dari teman-temannya,
matanya tidak bisa melihat, berjalan pun ia tak bisa".
"Tidak
lama kemudian", lanjut al-Balkhi, "ada seekor burung lain yang dengan
susah payah menghampirinya sambil membawa makanan untuknya. Seharian penuh aku
terus memperhatikan gerak-gerik burung itu. Ternyata ia tak pernah kekurangan
makanan, karena ia berulangkali diberi makanan oleh temannya yang sehat".
"Lantas
apa hubungannya dengan kepulanganmu?" tanya Ibrahim bin Adham yang belum
mengerti maksud kepulangan sahabat karibnya itu dengan segera.
"Maka
aku pun berkesimpulan", jawab al-Balkhi seraya bergumam, "bahwa Sang
Pemberi Rizki telah memberi rizki yang cukup kepada seekor burung yang pincang
lagi buta dan jauh dari teman-temannya. Kalau begitu, Allah Maha Pemberi, tentu
akan pula mencukupkan rizkiku sekali pun aku tidak bekerja". Oleh karena
itu, aku pun akhirnya memutuskan untuk segera pulang saat itu juga".
Mendengar
penuturan sahabatnya itu, Ibrahim bin Adham berkata, "wahai al-Balkhi
sahabatku, mengapa engkau memiliki pemikiran serendah itu? Mengapa engkau rela
mensejajarkan derajatmu dengan seekor burung pincang lagi buta itu? Mengapa
kamu mengikhlaskan dirimu sendiri untuk hidup dari belas kasihan dan bantuan
orang lain? Mengapa kamu tidak berpikiran sehat untuk mencoba perilaku burung
yang satunya lagi? Ia bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan
kebutuhan hidup sahabatnya yang memang tidak mampu bekerja? Apakah kamu tidak
tahu, bahwa tangan di atas itu lebih mulia daripada tangan di bawah?"
Al-Balkhi
pun langsung menyadari kekhilafannya. Ia baru sadar bahwa dirinya salah dalam
mengambil pelajaran dari kedua burung tersebut. Saat itu pulalah ia langsung
bangkit dan mohon diri kepada Ibrahim bin Adham seraya berkata, "wahai Abu
Ishak, ternyata engkaulah guru kami yang baik". Lalu berangkatlah ia
melanjutkan perjalanan dagangnya yang sempat tertunda.
Dari kisah
ini, mengingatkan kita semua pada hadits yang diriwayatkan dari Miqdam bin
Ma'dikarib radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam pernah bersabda, yang artinya: "Tidak ada sama sekali cara yang
lebih baik bagi seseorang untuk makan selain dari memakan hasil karya tangannya
sendiri. Dan sesungguhnya Nabiyullah Daud 'alaihis salam makan dari hasil jerih
payahnya sendiri" (HR. Bukhari).
Suatu hari
Utbah bin an-Nahhas al-Ajali berpidato sebagai berikut.
"Bagus
sekali apa yang difirmankan Allah dalam Kitab-Nya, "Tidaklah kekal orang
yang hidup di atas angan-angan...."
Serta merta
Hisyam bin al-Kalbi menyanggahnya seraya berkata:
"Allah
Yang Maha Mulia lagi Maha Agung tidak pernah berfirman seperti itu. Itu ucapan
penyair Ady bin Zaid."
"Subhanallah!
Aku kira itu firman Allah. Bagus sekali ucapan Ady itu," kata Utbah sambil
turun dari mimbar.
Pada hari
yang lain, seorang wanita dari golongan kaum Khawarij dihadapkan pada Utbah.
"Hai
perempuan musuh Allah! Mengapa kamu menentang Amirul Mukminin? Tidakkah kamu
pemah mendengar firman Allah yang berbunyi, 'Diwajibkan perang.' Dan perang
bagi kita serta bagi penyanyi-penyanyi perempuan adalah semudah menarik
ekor?" katanya sok tahu.
"Yang
membuatku menentang Amirul Mukminin adalah sikap sok tahumu terhadap kitab
Allah," jawab wanita Khawarij tersebut.
Sumber: al-Fihrasat, Ibnu Nadim
Al-Islam - Pusat informasi dan Komunikasi
islam Indonesia
Seorang
lelaki mendatangi dokter mengeluhkan isterinya yang sudah lama belum juga bisa
memberinya keturunan.
Setelah
memeriksa denyut jantung si isteri, dokter berkata:
"Kamu
tidak memerlukan obat penyubur. Sebab, berdasarkan pemeriksaan denyut jantung,
empat puluh hari lagi engkau bakal meninggal."
Si isteri
merasa ketakutan sekali mendengar keterangan dokter itu. Ia putus asa menjalani
sisa kehidupan yang tinggal sebentar lagi. Akibatnya, ia tidak berselera makan
dan minum.
Tetapi,
sampai batas waktu empat puluh hari yang dikatakan dokter, ternyata ia masih
hidup. Merasa penasaran, suaminya lalu menemui dokter untuk menanyakannya.
"Dokter,
isteriku belum meninggal," katanya.
"Aku
tahu itu,"jawab dokter. "Bahkan, insya Allah sebentar lagi ia akan
mengandung."
Sang suami
yang sebenarnya sudah pasrah atas suratan takdir Allah itu menjadi tidak habis
pikir dengan keterangan dokter.
"Apa
maksud dokter? Bagaimana itu bisa terjadi?" tanyanya penasaran.
"Begini,"
kata dokter, "Dulu aku lihat istrimu kegemukan, banyak lemak yang
mengganggu pada bibir rahimnya. Aku sengaja menakutinya dengan kematian supaya
ia bisa kurus. Dan temyata berhasil, sehingga sesuatu yang menyebabkan ia tidak
bisa melahirkan menjadi hilang."
Sumber: al lhya' Ulum al Din, Imam al
Ghazali
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi
Islam indonesia
Shuhaib
al-Madani akan dijatuhi hukuman cambuk karena tertangkap basah meminum mmuman
keras. Tubuh Shuhaib tinggi besar, sementara tubuh si algojo kurus pendek.
"Ayo
membungkuk, supaya aku bisa mencambukmu," pinta algojo.
"Hai
tolol! Emangye Lu mau ngajak aku makan manisan?" jawab Shuhaib.
Sumber: al-Basha'ir wa al-Dzakha'ir, Abu
Hayyan al-Tauhidi
Rasyid bin
Zubair adalah seorang yang mempunyai kharisma yang tinggi. Ia dari keturunan
ningrat dan menguasai berbagai ilmu. Namun, sayangnya ia berwajah jelek,
kulitnya hitam, bibir tebal, hidung pesek, dan bertubuh pendek.
Suatu ketika
ia menceritakan pengalamannya di kota Kairo sebagai berikut:
"Suatu
hari aku berjalan-jalan di kota Kairo. Aku bertemu seorang wanita berwajah
cantik. Begitu melihatku, aku merasa ia terpesona padaku. Demikian pula dengan
aku, sehingga aku lupa diri. Matanya memandang ke arahku, dan itu membuat
sekujur tubuhku semakin gemetar terasa panas dingin."
"Aku
ikuti ia yang masuk keluar gang. Akhirnya, ia berhenti di depan sebuah rumah.
Sebelum masuk, ia sempat memberiku isyarat mata sambil menyingkapkan kain
cadarnya. Aku semakin terlena melihat kecantikan wajahnya yang bagaikan bulan
pumama."
Selanjutnya
ia bertepuk tangan seraya memanggil nama, 'Ayo Halimah, kemarilah!' Seorang
anak kecil perempuan berjalan menuju kearahnya. 'Kalau kamu ngompol lagi, biar
dikremes tuan Qadii nanti!' ancamnya pada anak kecil itu.
Selanjutnya
ia menoleh padaku dan berkata, "Oh, kamu. Mudah-mudahan Allah membalas
kebaikanmu karena telah mengantarku."
Dengan rasa
malu aku membalikkan badan, dan segera melangkah entah menuju ke mana.
Sumber: Mu' jam al Adibba', Yaqut
Abdullah bin
Syekh Hasan al Jibrati menikah dengan Fatimah binti Ramadhan Jalabi. Fatimah
ini figur isteri yang baik dan berbakti. Di antara kebaikannya, ia biasa
membelikan suaminya pakaian yang bagus-bagus dengan uangnya sendiri, demikian
pula untuk membelikan pakaian serta perhiasannya sendiri.
Ia tidak
pernah meminta uang kepada suami, atau menggunakan uang belanja keluarga. Begitu
baiknya, sampai-sampai ia diam saja dan tidak merasa cemburu melihat suaminya
suka membeli budak perempuan. Kesetiaannya tidak menjadi luntur; sama sekali
tidak terpengaruh. Atas semua itu ia berharap beroleh balasan pahala yang
berlipat ganda dari Allah.
Pada tahun
1156 Hijriyah, Abdullah pergi haji. Di Mekah ia berkenalan dengan orang bemama
Umar al Halbi. Ia dipesan untuk membeli seorang budak perempuan berkulit putih,
masih perawan, dan bertubuh langsing. Pulang dari ibadah haji, ia mencari budak
perempuan dengan ciri-ciri tersebut, dan cukup lama ia baru mendapatkannya.
Abdullah
memperkenalkan budak perempuan yang baru dibelinya itu kepada isterinya. Tetapi
sang istri sama sekali tidak tersinggung. Ia bahkan menganggapnya sebagai
puterinya sendiri. Lama-kelamaan keduanya saling mencintai, dan tidak mau
berpisah selamanya.
"Jadi
bagaimana ini?" tanya Abdullah kepada isterinya.
"Begini
saja,"jawab sang isteri, "Aku ganti uangnya, lalu kamu belikan budak
yang lain."
"Baiklah,"
kata Abdullah setuju.
Oleh Fatimah,
budak perempuan yang baru dibelinya itu dimerdekakan, dan dinikahkan dengan
suaminya. Bahkan, ia menyediakan kamar tersendiri untuk madunya tersebut.
Pada tahun
1165 Abdullah memboyong isteri keduanya ini ke rumah sendiri. Tetapi, istri
pertama tetap merasa berat untuk berpisah barang sesaat pun, meski ia telah
memiliki beberapa orang anak.
Pada tahun
1182 isteri kedua jatuh sakit, lalu disusul oleh isteri pertama. Kian lama
sakit keduanya kian parah. Tengah hari, isteri kedua memaksakan diri bangun
dari pembaringan. Ia menangis melihat isteri pertama dalam keadaan pingsan. Ia
berdoa, "Tuhan, jika Engkau takdirkan ia meninggal, jangan ia
mendahuluiku."
Benar...
Malamnya, isteri kedua itu meninggal dunia. Ia disemayamkan di samping isteri
pertama. Saat menjelang subuh, ia siuman. Sambil meraba-raba ia membangunkan
madunya. Namun, ia menjadi lunglai ketika diberitahu bahwa madunya sudah
meninggal. Ia menangis melolong-lolong hingga tengah hari. Setelah ikut
menyaksikan madunya dimandikan, ia pun kembali ke pembaringannya. Petang hari
ia meninggal dunia, dan jenazahnya dimakamkan pada hari berikutnya.
Sumber: 'Aja'ib al Atsar, al Jibrati
Musa as:
"Oh Tuhan, ajarilah kami sesuatu yang dapat kami gunakan untuk berzikir
dan berdoa kepada Engkau."
Tuhan:
"Ucapkan Laa Ilaaha Illallaah hai Musa!"
Musa as:
"Oh Tuhan, semua hamba-Mu telah mengucapkan kalimat itu."
Tuhan:
"Hai Musa, andaikan langit yang tujuh beserta seluruh penghuninya selain
Aku, dan bumi yang tujuh ditimbang dengan Laa Ilaaha Illallaah, niscaya masih
berat Laa Ilaaha Illallaah."
Sumber : 1001 Kisah-Kisah Nyata, Ahmad
Sunarto
Seorang
laki-laki mengaku sebagai penyair, tetapi masyarakat menanggapinya dengan
dingin. "Kalian bersikap dingin kepadaku karena iri," katanya.
"Di
tengah-tengah kita ada Basyar Al-Uqaili, penyair hebat. Sebaiknya biar dia yang
mengujimu," kata mereka.
Selesai
mendengar puisi-puisi karya orang itu, Basyar bilang:
"Kamu
termasuk anggota keluarga Nabi."
"Maksudmu?"
tanya laki-laki itu.
"Sebab,
Allah berfirman, "Dan kami tidak mengajarkan syair kepadanya, dan bersyair
itu tidak layak baginya," jawab Basyar.
Sumber: Al-Aqdal-Faridoleh, lbnu Abdi Rabih
Dalam suatu
pertemuan penting, Muhammad bin Mubasyir, menteri urusan perang, diprotes oleh
Mundzir bin Abduirahman, seorang ulama ahli ilmu nahwu, karena sang menteri
pernah menyerukan kaum wanita ikut perang.
"Bagaimana
engkau menyuruh kaum wanita ikut berperang bersama-sama laki-laki?"
Dengan
pura-pura tidak paham, sang menteri memutarkan protes tersebut dan menjawab
lain:
"Seumur
hidup, baru kali ini aku mendengar saran yang begitu kejam. Allah saja menyuruh
wanita supaya tetap tinggal di rumah, tetapi kenapa kamu malah menganjurkan
supaya ikut berperang?"
Sumber: Thabaqat Al-Nahwiyyin wa
Al-Lughawiyyin, Az-Zubaidi Al-Andalusi
Mekah
menggelegak terbakar kebencian terhadap orang-orang Muslim karena kekalahan
mereka di Perang Badr dan terbunuhnya sekian banyak pemimpin dan bangsawan
mereka saat itu. Hati mereka membara dibakar keinginan untuk menuntut balas.
Bahkan karenanya Quraisy melarang semua penduduk Mekah meratapi para korban di
Badr dan tidak perlu terburu-buru menebus para tawanan, agar orang-orang Muslim
tidak merasa diatas angin karena tahu kegundahan dan kesedihan hati mereka.
Hingga
tibalah saatnya Perang Uhud. Di antara pahlawan perang yang bertempur tanpa
mengenal rasa takut pada waktu itu adalah Hanzhalah bin Abu Amir. Ayahnya
adalah seorang tabib yang disebut si Fasik.
Hanzhalah
baru saja melangsungkan pernikahan. Saat mendengar gemuruh pertempuran, yang
saat itu dia masih berada dalam pelukan istrinya, maka dia segera melepaskan
pelukan istrinya dan langsung beranjak untuk berjihad. Saat sudah terjun
kekancah pertempuran berhadapan dengan pasukan musyrikin, dia menyibak barisan
hingga dapat berhadapan langsung dengan komandan pasukan musuh, Abu Sufyan bin
Harb. Pada saat itu dia sudah dapat menundukan Abu Sufyan, namun hal itu
diketahui oleh Syaddad bin Al-Aswad yang kemudian menikamnya hingga meninggal
dunia sebagai syahid.
Tatkala
perang usai dimana kaum muslimin menghimpun jasad para syuhada dan akan
menguburkannya, mereka kehilangan usungan mayat Hanzhalah. Setelah mencari
kesana kemari, mereka mendapatkannya di sebuah gundukan tanah yang masih
menyisakan guyuran air disana.
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wassalam mengabarkan kepada para shahabatnya bahwa malaikat
sedang memandikan jasadnya. Lalu beliau bersabda, "Tanyakan kepada
keluarganya, ada apa dengan dirinya?"
Lalu mereka
bertanya kepada istrinya, dan dikabarkan tentang keadaannya sedang junub saat
berangkat perang. Dari kejadian ini Hanzhalah mendapatkan julukan Ghasilul
Malaikat (Orang yang dimandikan malaikat). Wallahu ta'ala 'alam
Sumber: Sirah Nabawiyah, Syeikh Shafiyyur
Rahman Al Mubarakfury
Oleh: Abu Rumaysa Iwan Sutedi
Diceritakan,
Ummul Banin Abdul Aziz bin Marwan, isteri Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik,
pernah jatuh cinta kepada seorang penyair Yaman, bernama Wadlah yang berwajah
cukup tampan.
Atas
undangan rahasia Ummul Banin, penyair Yaman itu datang menemuinya di rumah;
saat itu Khalifah Al-Walid sedang bepergian. Merasa takut ketahuan, ia
menyembunyikan Wadlah di dalam sebuah peti lalu menutupnya rapat-rapat. Namun,
mendadak seorang pelayan masuk dan sempat melihat ada seorang laki-laki dalam
sebuah peti; Ia pura-pura tidak tahu.
Kebetulan
Khalifah Al Walid tiba; pelayan itu langsung melaporkan apa yang baru saja
dilihatnya; semula sang Khalifah tidak percaya.
"Tuan
Amirul Mukminin, buktikan sendiri," kata pelayan.
Khalifah
Al-Walid masuk ke kamar dan mendapati isterinya sedang menyisir rambut sambil
duduk di atas sebuah peti.
"Isteriku,
aku ingin memeriksa peti-peti di kamar ini," kata khalifah.
"Silakan,
peti-peti ini memang milikmu, Amirul Mukminin," jawab isterinya.
Khalifah
menimpali, "Tetapi aku hanya ingin satu peti saja."
"Silakan,
mana yang engkau inginkan - ambillah."
"Peti
yang kamu duduki itu, " sahut khalifah.
Ummul Banin
terperangah mendengarnya; sekujur tubuhnya terasa gemetar; perasaannya kalut.
Namun, ia mencoba untuk menutupi semua itu.
"Yang
lainnya malah lebih baik. Lagi pula, di peti yang satu ini ada barang-barang
keperluanku, " tutur isterinya.
Khalifah
menjawab, "Aku menginginkan yang satu ini saja."
Dengan rasa
putus asa, isterinya menjawab, "Ambillah, kalau begitu."
Khalifah
Al-Walid segera memerintahkan seorang pelayan untuk mengangkat peti tersebut ke
halaman belakang istana, dan meletakkannya di bibir sumur tua. Ummul Banin,
isteri khalifah, menatap sedih sambil menangis dari kejauhan; ia tidak berani
mendekat. Ia tidak tahu nasib apa yang akan menimpa laki-laki simpanannya itu;
hatinya gundah gulana.
Pelan-pelan,
Khalifah Al-Walid menghampiri peti tersebut (sebenarnya ia sangat marah, namun
ia berusaha menahannya).
"Hai
orang yang ada dibdalam peti, kalau berita yang kami dengar adanya, berarti
kami menguburmu, berikut kenangan manismu untuk selamanya. Tetapi, jika kabar
itu bohong, berarti kami hanya mengubur kayu," kata Khalifah sambil
melemparkan peti ke dasar sumur.
Setelah
menyuruh menimbunnya dengan pasir sampai rata dengan tanah, Khalifah masuk ke
istana. Sejak itu, penyair Yaman bernama Wadlah tidak pernah tampak. Ummul
Banin tidak melihat ada kemarahan pada wajah suaminya, hingga kematian
memisahkan mereka berdua.
Sumber: Wafyat Al-A'yan, Ibnu Khalkan
Seorang
pemuda tiba di Baghdad dalam perjalanannya menunaikan ibadah haji ke tanah
suci. Ia membawa seuntai kalung senilai seribu dinar. Ia sudah berusaha keras
untuk menjualnya, namun tidak seorang pun yang mau membelinya. Akhirnya ia menemui
seorang penjual minyak wangi yang terkenal baik, kemudian menitipkan kalungnya.
Selanjutnya ia meneruskan perjalanannya.
Selesai
menunaikan ibadah haji ia mampir di Baghdad untuk mengambil kembali kalungnya.
Sebagai ucapan terima kasih ia membawa hadiah untuk penjual minyak wangi itu.
"Saya
ingin mengambil kembali kalung yang saya titipkan, dan ini sekedar hadiah buat
Anda," katanya.
"Siapa
kamu? Dan hadiah apa ini?," tanya penjual minyak wangi.
"Aku
pemilik kalung yang dititipkan pada Anda," jawabnya mengingatkan.
Tanpa banyak
bicara, penjual minyak wangi menendangnya dengan kasar, sehingga ia hampir
jatuh terjerembab dari teras kios, seraya berkata, "Sembarangan saja kamu
menuduhku seperti itu."
Tidak lama
kemudian orang-orang berdatangan mengerumuni pemuda yang malang itu. Tanpa tahu
persoalan yang sebenarnya, mereka ikut menyalahkannya dan membela penjual
minyak wangi. "Baru kali ada yang berani menuduh yang bukan-bukan kepada
orang sebaik dia," kata mereka.
Laki-laki
itu bingung. Ia mencoba memberikan penjelasan yang sebenarnya. Tetapi mereka
tidak mau mendengar, bahkan mereka mencaci maki dan memukulinya sampai babak
belur dan jatuh pingsan.
Begitu
siuman, ia melihat seorang berada di dekatnya. "Sebaiknya kamu temui saja
Sultan Buwaihi yang adil; ceritakan masalahmu apa adanya. Saya yakin ia akan
menolongmu," kata orang yang baik itu.
Dengan
langkah tertatih-tatih pemuda malang ini menuju kediaman Sultan Buwaihi. Ia
ingin meminta keadilan. Ia menceritakan dengan jujur semua yang telah terjadi.
"Baiklah,
besok pagi-pagi sekali pergilah kamu menemui penjual minyak wangi itu di
tokonya. Ajak ia bicara baik-baik. Jika ia tidak mau, duduk saja di depan
tokonya sepanjang hari dan jangan bicara apa-apa dengannya. Lakukan itu sampai
tiga hari. Sesudah itu aku akan menyusulmu. Sambut kedatanganku biasa-biasa
saja. Kamu tidak perlu memberi hormat padaku kecuali menjawab salam serta
pertanyaan-pertanyaanku," kata Sultan Buwaihi.
Pagi-pagi
buta pemuda itu sudah tiba di toko penjual minyak wangi. Ia minta izin ingin
bicara, tetapi ditolak. Maka seperti saran Sultan Buwaihi, ia lalu duduk di
depan toko selama tiga hari, dan tutup mulut.
Pada hari
keempat, Sultan datang dengan rombongan pasukan cukup besar.
"Assalamu'alaikum," kata Sultan.
"Wa'alaikum
salam," jawab pemuda acuh tanpa gerak.
"Kawan,
rupanya kamu sudah tiba di Baghdad. Kenapa Anda tidak singgah di tempat kami?
Kami pasti akan memenuhi semua kebutuhan Anda," kata Sultan.
"Terima
kasih," jawab pemuda itu acuh, dan tetap tidak bergerak.
Saat Sultan
terus menanyai pemuda ini, rombongan pasukan yang berjumlah besar itu maju
merangsak. Karena takut dan gemetar melihatnya, si penjual minyak wangi jatuh
pingsan. Begitu siuman, keadaan di sekitarnya sudah lengang. Yang ada hanya
sang pemuda, yang masih tetap duduk tenang di depan toko. Penjual minyak wangi
menghampirinya dan berkata:
"Sialan!
Kapan kamu titipkan kalung itu kepadanya? Kamu bungkus dengan apa barang
tersebut? Tolong bantu aku mengingatnya."
Si Pemuda
tetap diam saja. Ia seolah tidak mendengar semuanya. Penjual minyak wangi sibuk
mondar-mandir kesana kemari mencarinya. Sewaktu ia mengangkat dan dan
membalikkan sebuah guci, tiba-tiba jatuh seuntai kalung.
"Ini
kalungnya. Aku benar-benar lupa. Untung kamu mengingatkan aku," katanya.
Sumber: Akhbar Adzkiya, Ibn Al-Jauzi
Abdurrahman
bin Al-Hakam, Amir Andalusia, mengundang sejumlah ahli fiqih di kediamannya. Ia
sedang menghadapi masalah pelik. Pada siang hari bulan Ramadhan telah melakukan
hubungan seksual dengan budak perempuannya. Saat itu ia benar-benar tidak
sanggup menahan hasrat birahinya. Ia ingin bertanya kepada para ulama ahli
fiqih bagaimana cara bertaubat dan membayar kafarat.
"Selain
bertaubat kepada Allah dengan sungguh-sunguh, Engkau harus berpuasa dua bulan
berturut-turut," kata seorang ulama bernama Yahya bin Yahya Al-Laitsi.
Ulama-ulama
yang lain diam saja: tak seorang pun menyanggahnya, mendengar jawaban Yahya
tersebut. Tetapi, begitu keluar dari kediaman sang Amir, beberapa ulama
menghampiri Yahya dan bertanya, "Mengapa engkau tadi tidak memberikan
fatwa berdasarkan Imam Malik? Sehingga ia bisa memilih tiga saksi secara
berurutan: memerdekakan budak, atau memberikan makan sejumlah orang miskin,
baru berpuasa selama dua bulan berturut-turut."
"Kalau
itu yang aku sampaikan, keenakan dia, mungkin setiap hari akan mengulangi
perbuatannya itu karena baginya memerdekakan budak itu masalah yang ringan. Aku
sengaja pilihkan yang paling berat, supaya tidak mengulanginya lagi."
jawab Yahya.
Sumber: Wafyat Al-A'yan, Ibnu Khalkan